Pamit (Cerita Pendek)



Aku hanya bisa diam memandangnya pergi. Dengan mata yang basah dan tatapan nenar menyesali betapa bodohnya aku menangisi lelaki seperti dia.  Terlihat hanya punggungnya dan dia tidak menoleh lagi. Sepertinya aku benar-benar ditinggalkan.

Kalia, begitu teman-teman biasa memanggilku. Aku yang sering galau karena banyak dipermainkan. Memang dipermainkan itu sama sekali tidak menyenangkan. Dan ini bukan yang pertama kali bagiku. Sudah banyak lisan yang berkata bohong dan mata dengan tatapan ingin mengambil untung, tapi bodohnya aku yang masih bisa terbuai.

Suatu pagi dengan langit berwarna biru langit dan aku berjalan sendiri dengan pelan tapi pasti. Aku berusaha tidak terlihat galau, tapi apalah daya ekspresi ini sangat familiar di mata teman-temanku. “Hei, Kal!”, suara Dania mengagetkanku. “Sudahlah, sekarang waktunya kamu belajar dari kesalahan Kal, kata Dania. Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Aku mengangguk saja.

Belajar dari kesalahan memang hal yang tepat yang harus aku lakukan, tapi adalah hal yang sulit pula dilakukan. “Huft!” aku menghela napas berat. Entah bagaimana hati ini bisa tertata baik kembali, sementara telah banyak kata yang tertanam di dalamnya. Mungkin saatnya melampiaskan perasaanku pada sesuatu yang membuatku bahagia.

Siang yang terik aku keluar kelas sendiri karena Dania ada kelas yang lain. Aku berjalan menuju tempat yang biasa aku tuju sembari menunggu Dania selesai. “Hai, Kalia..”, kata seseorang memanggilku. Aku menengokkan kepala, memiringkannya dan mengernyitkan dahi berbicara dalam hatiku menanyakan orang asing yang kini berada di depanku. “Iya? Siapa ya?”, kataku. Dia menatapku sambil menaikkan salah satu alisnya. “Lho, Kal? Kamu ga ngenalin aku?, katanya. Aku semakin bingung dengan situasi ini. “Maaf, mungkin kamu salah orang”, kataku sambil berdiri dan berlalu, tapi lelaki ini menahanku. “Gak mungkin salah orang, Kalia.. Aku Dimas, kita 3 tahun sekelas waktu SMP Kal”, katanya meyakinkanku. Aku berpikir keras mengingat teman-temanku yag bernama Dimas. “Oh! Dimas Bian? O iya aku ingat, ya ampun maaf aku gak ngeh ini kamu Dim”, kataku. Untuk pertemuan pertama setelah lama berpisah, kami mengobrol sampai Dania menghampiriku.

Hari ini hari ke-4 aku menggalau tak berguna. Aku bertekad untuk berhenti dan ingin hidup dengan normal. Aku mencoba menjalani hari yang biasa dan bahagia, dan itu sangat bekerja. Perlahan aku mulai bisa melupakan – atau lebih tepatnya aku menerima nasib yang ada.

Siang ini aku berniat mengerjakan tugasku di sebuah kafe dekat rumah, tak perlu waktu lama hanya butuh waktu 5 menit untuk berjalan kaki. Aku duduk di pojok dekat jendela, aku memesan segelas es the tanpa gula dan seporsi sosis goring. Aku membuka laptopku dan mulai menuliskan hasil pencarianku semalam. Sudah hampir selesai, sesosok yang tidak asing menghampiriku, otakku masih loading mengingat siapa orang ini. “Ah, dia Dimas yang kemarin sore”, kataku dalam hati. Dia menyapaku terlebih dahulu dan kami mengobrol. “Untunglah tugasku sudah selesai”, gumamku.

Obrolan ini cukup menyenangkan, berbagi nostalkia dengan kawan lama, meskipun aku sempat lupa aku punya teman seperti dia. “Habis ini kamu mau kemana, Kal?”, tanya Dimas. Aku diam sejenak, mengingat rencanaku hari ini. “Mmmm… mungkin langsung pulang”, kataku. “Aku antar ya?”, katanya. Aku mengangkat salah satu alisku. “Eh, gak.. gak usah, deket kok”, kataku menolak. Dimas tetap memaksa dan akhirnya dia tetap mengantarku pulang.

Kejadian sore itu entah kenapa terasa aneh bagiku, dia yang baru 2 hari bertemu kembali denganku rasanya seperti dia sudah tahu akan terjadi begitu. Aku ceritakan semua pada Dania, sontak dia kaget dan melarangku bertemu lagi dengan Dimas. Karena Dania tidak mau aku terjerumus lagi pada lubang yang sama. Dania mungkin benar, sekarang lebih baik aku tidak memikirkan tentang hubungan yang sudah banyak menyakitiku. Baiklah, malam itu aku berpikir akan menganggap Dimas biasa saja, seperti aku mengenal teman- teman perempuanku.

Tidak butuh waktu lama, seperti kata Dania tempo hari Dimas menyatakan perasaannya padaku di hari ke 12 kami berteman. Aku memberanikan diri mengatakan tidak untuk yang pertama kalinya, meski hati ini seperti menolak perkataan itu. “Maaf, Dim aku belum bisa membuka perasaan lebih dari teman”, kataku. Dimas menunduk kecewa. “Kenapa, Kal? Kita sudah lama kenal, ya memang baru 12 hari kita ketemu lagi, tapi aku masih yang sama seperti dulu”, katanya mencoba meyakinkanku. Aku diam, Dimas tidak tahu dan tidak pernah aku beritahu kisahku sebelumnya. “Aku suka kamu sejak dulu, Kal. Sejak kita SMP dulu, sampai sekarang dan aku gak tau sampai kapan lagi”, katanya. Aku sedikit terkejut mengetahui kenyataan ini. Rasanya cukup aneh mendengar pengakuan yang seperti ini.

Malam berlalu dengan kalimat penolakanku itu. Aku tidak menjauhi Dimas seperti kisah-kisah penolakan lalu menjauhi yang mengungkapkan perasaan. Setelah malam itu semua berjalan seperti biasa. Seperti tidak ada apa-apa. Tapi, ada hal yang membuatku gusar dan selalu teringat “sampai kapanpun aku akan nunggu kamu, Kal. Bilang ya kalo udah siap”. Seperti cuplikan video, kalimat itu melintas di kepalaku.

 

“Aku bukan takut jatuh cinta,
 aku takut pada pamit yang menyakitkan
 yang sulit dilupakan”

Komentar

Posting Komentar

Berikan komentar yang sesuai dengan tata aturan yang berlaku..

Postingan populer dari blog ini

Apa Tulisanku Bisa Bermanfaat Untukmu?

Alasan Mengapa Orangtua Suka Menjelekkan Anaknya di Depan Orang Lain

Alas Kardus Budi (Cerita Pendek)