Alas Kardus Budi (Cerita Pendek)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Dia sendiri sedari tadi dan menatap
langit yang mulai tertutup awan. Namanya Budi, memang terdengar sangat umum. Seorang
anak laki-laki berbadan tinggi kurus dan memiliki rupa yang cukup menawan. Dia sederhana,
dari keluarga sederhana, bersikap sederhana dan berpikiran sederhana pula. Sudah
10 menit sejak dia menapakkan kaki di depan gerbang sekolah menunggu angkot
yang akan dia tumpangi untuk pulang. Rautnya mulai gusar, karena wajah langit
yang perlahan terlihat murung. Dia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri
berkali-kali, sampai akhirnya angkot oranye yang dia tunggu datang
menghampiri. Tak butuh waktu lama untuk Budi sampai ke rumahnya, dia turun dari
angkot lalu berjalan beberapa ratus meter dan dia bertemu dengan ibunya yang
sedang di pelataran rumah. “Baru pulang, Nak? Masuk, ganti baju trus
makan”, kata Ibu Budi. Budi mengangguk dan berjalan memasuki rumah.
Malam ini terasa tidak nyaman bagi
Budi, dia teringat sesuatu dan memikirkan sesuatu. “Apa yang harus aku gunakan
untuk besok? Ah, kenapa mereka menyusahkan sekali”, gumamnya. Besok semua anak
kelas 8 harus membawa alas duduk untuk acara kuliah umum dari seorang guru tamu
di lapangan sekolah, sementara Budi tidak memiliki sesuatu yang pantas dia
jadikan alas duduk untuk besok. Dia berpikir keras, sampai akhirnya “ah, bodoh
sekali, kenapa aku harus berpikir pusing-pusing untuk sesuatu se-sepele ini”,
katanya sambil menepok jidat. Dia bangun dari posisi nyamannya lalu
pergi ke samping rumah dan dapur mengambil bahan yang yang dia butuhkan dari
apa yang dia pikirkan.
“Mungkin cukup dan pantas, toh
aku yang akan memakainya” katanya dengan percaya diri. Budi memutuskan membuat
alas duduk dari kardus bekas lalu dia bungkus dengan kresek bekas.
Pagi harinya, Budi terlihat sangat
percaya diri dengan alas duduk yang dia buat. Sesampainya di sekolah, dia
melihat teman-temannya membawa alas duduk warna warni yang terlihat seperti
karpet. Budi melihatnya biasa saja, dia masih tetap percaya diri. Dia berjalan
sangat santai dengan alas kardus berwarna hitam putih bergaris.
“Eh Budi, ngapain bawa-bawa rongsokan
ke sekolah? Bukannya bawa alas duduk” kata salah seorang teman Budi bernama Ken.
Ken dalam setiap kesempatan memang selalu terlihat menyebalkan.
“Emang kenapa?”, kata Budi. “Yang
penting bisa aku pakai buat duduk dan celanaku tidak kotor tentunya. Gausah repot-repot
harus bagus kali”, lanjutnya. Ken terdiam, dia bingung harus menjawab apa. Terlihat
dari wajahnya jika dia sangat malu mendengar jawaban Budi. Ken pun berlalu
dengan wajah kesal.
Hari itu berjalan sangat lancar,
meski banyak perkataan yang tidak enak di dengar tertuju pada Budi – tidak hanyak
Ken seorang. Budi tidak terlalu memikirkannya, dia anggap teman-temannya memang
sedang membutuhkan pelampiasan saja. Apa mau di kata, memang dia tidak mampu
membeli alas duduk seperti teman-temannya.
Sepulang sekolah, tanda dikira tanpa
dinyana hujan turun sementara angkot yang harus Budi naiki sudah menunggu di
depan gerbang. Budi terdiam sejenak. Diamnya dikagetkan oleh Ken yang tiba-tiba
berkata kesal kepada hujan. “Huh! Kenapa hujan sih? Mana ga bawa payung”, kata
Ken menggerutu. Supir yang menjemput Ken pun tidak membawa payung, Ken tambah
kesal.
Budi menawarkan berjalan bersama
dengan alas kardusnya dijadikan payung sampai ke mobilnya. Ken menolak
mentah-mentah. “Gak usah, aku juga punya”, kata Ken ketus. Ken mengeluarkan
alas duduk yang dia lipat dari dalam tas. “Ya sudah, aku duluan. Tapi kayaknya
itu bakal rembes deh Ken”, kata Budi. Ken tidak menghiraukan Budi. Budi berjalan
perlahan diantara hujan dengan alas duduk yang dia jadikan payung, Ken
menyusul. Benarlah yang Budi katakan, alas duduk Ken basah kuyup begitu pula
dengan badan Ken. Budi hanya tersenyum agak meledek kemudian berlalu.
Komentar
👍👍
BalasHapus😄
Hapus