Pamit (Cerita Pendek)

Gambar
Aku hanya bisa diam memandangnya pergi. Dengan mata yang basah dan tatapan nenar menyesali betapa bodohnya aku menangisi lelaki seperti dia.  Terlihat hanya punggungnya dan dia tidak menoleh lagi. Sepertinya aku benar-benar ditinggalkan. Kalia, begitu teman-teman biasa memanggilku. Aku yang sering galau karena banyak dipermainkan. Memang dipermainkan itu sama sekali tidak menyenangkan. Dan ini bukan yang pertama kali bagiku. Sudah banyak lisan yang berkata bohong dan mata dengan tatapan ingin mengambil untung, tapi bodohnya aku yang masih bisa terbuai. Suatu pagi dengan langit berwarna biru langit dan aku berjalan sendiri dengan pelan tapi pasti. Aku berusaha tidak terlihat galau, tapi apalah daya ekspresi ini sangat familiar di mata teman-temanku. “Hei, Kal!”, suara Dania mengagetkanku. “Sudahlah, sekarang waktunya kamu belajar dari kesalahan Kal, kata Dania. Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Aku mengangguk saja. Belajar dari kesalahan memang hal yang tepat yang harus aku

Alas Kardus Budi (Cerita Pendek)

Dia sendiri sedari tadi dan menatap langit yang mulai tertutup awan. Namanya Budi, memang terdengar sangat umum. Seorang anak laki-laki berbadan tinggi kurus dan memiliki rupa yang cukup menawan. Dia sederhana, dari keluarga sederhana, bersikap sederhana dan berpikiran sederhana pula. Sudah 10 menit sejak dia menapakkan kaki di depan gerbang sekolah menunggu angkot yang akan dia tumpangi untuk pulang. Rautnya mulai gusar, karena wajah langit yang perlahan terlihat murung. Dia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri berkali-kali, sampai akhirnya angkot oranye yang dia tunggu datang menghampiri. Tak butuh waktu lama untuk Budi sampai ke rumahnya, dia turun dari angkot lalu berjalan beberapa ratus meter dan dia bertemu dengan ibunya yang sedang di pelataran rumah. “Baru pulang, Nak? Masuk, ganti baju trus makan”, kata Ibu Budi. Budi mengangguk dan berjalan memasuki rumah.

Malam ini terasa tidak nyaman bagi Budi, dia teringat sesuatu dan memikirkan sesuatu. “Apa yang harus aku gunakan untuk besok? Ah, kenapa mereka menyusahkan sekali”, gumamnya. Besok semua anak kelas 8 harus membawa alas duduk untuk acara kuliah umum dari seorang guru tamu di lapangan sekolah, sementara Budi tidak memiliki sesuatu yang pantas dia jadikan alas duduk untuk besok. Dia berpikir keras, sampai akhirnya “ah, bodoh sekali, kenapa aku harus berpikir pusing-pusing untuk sesuatu se-sepele ini”, katanya sambil menepok jidat. Dia bangun dari posisi nyamannya lalu pergi ke samping rumah dan dapur mengambil bahan yang yang dia butuhkan dari apa yang dia pikirkan.

“Mungkin cukup dan pantas, toh aku yang akan memakainya” katanya dengan percaya diri. Budi memutuskan membuat alas duduk dari kardus bekas lalu dia bungkus dengan kresek bekas.

Pagi harinya, Budi terlihat sangat percaya diri dengan alas duduk yang dia buat. Sesampainya di sekolah, dia melihat teman-temannya membawa alas duduk warna warni yang terlihat seperti karpet. Budi melihatnya biasa saja, dia masih tetap percaya diri. Dia berjalan sangat santai dengan alas kardus berwarna hitam putih bergaris.

“Eh Budi, ngapain bawa-bawa rongsokan ke sekolah? Bukannya bawa alas duduk” kata salah seorang teman Budi bernama Ken. Ken dalam setiap kesempatan memang selalu terlihat menyebalkan.

“Emang kenapa?”, kata Budi. “Yang penting bisa aku pakai buat duduk dan celanaku tidak kotor tentunya. Gausah repot-repot harus bagus kali”, lanjutnya. Ken terdiam, dia bingung harus menjawab apa. Terlihat dari wajahnya jika dia sangat malu mendengar jawaban Budi. Ken pun berlalu dengan wajah kesal.

Hari itu berjalan sangat lancar, meski banyak perkataan yang tidak enak di dengar tertuju pada Budi – tidak hanyak Ken seorang. Budi tidak terlalu memikirkannya, dia anggap teman-temannya memang sedang membutuhkan pelampiasan saja. Apa mau di kata, memang dia tidak mampu membeli alas duduk seperti teman-temannya.

Doc. Google

Sepulang sekolah, tanda dikira tanpa dinyana hujan turun sementara angkot yang harus Budi naiki sudah menunggu di depan gerbang. Budi terdiam sejenak. Diamnya dikagetkan oleh Ken yang tiba-tiba berkata kesal kepada hujan. “Huh! Kenapa hujan sih? Mana ga bawa payung”, kata Ken menggerutu. Supir yang menjemput Ken pun tidak membawa payung, Ken tambah kesal.

Budi menawarkan berjalan bersama dengan alas kardusnya dijadikan payung sampai ke mobilnya. Ken menolak mentah-mentah. “Gak usah, aku juga punya”, kata Ken ketus. Ken mengeluarkan alas duduk yang dia lipat dari dalam tas. “Ya sudah, aku duluan. Tapi kayaknya itu bakal rembes deh Ken”, kata Budi. Ken tidak menghiraukan Budi. Budi berjalan perlahan diantara hujan dengan alas duduk yang dia jadikan payung, Ken menyusul. Benarlah yang Budi katakan, alas duduk Ken basah kuyup begitu pula dengan badan Ken. Budi hanya tersenyum agak meledek kemudian berlalu.


“Sesederhana hujan yang tak perlu memilih waktu untuk menjenguk bumi yang akan dia singgahi. Sesederhana waktu yang tak beri tahu kapan hujan akan menghadiri. Namun hujan tahu kapan waktu yang indah untuk pelangi bersemi”

Komentar

Posting Komentar

Berikan komentar yang sesuai dengan tata aturan yang berlaku..

Postingan populer dari blog ini

Pamit (Cerita Pendek)

Apa Tulisanku Bisa Bermanfaat Untukmu?

Alasan Mengapa Orangtua Suka Menjelekkan Anaknya di Depan Orang Lain